Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Makalah Hukum Waris dalam Ajaran Agama Islam

Dalam hal warisan dalam agama islam sudah di atus hukum nya, dan hal ini juga masuk kedalam hukum positif di negara kita, bagi kamu yang sedang mengerjakan tugas membuat makalah Hukum Waris dalam Ajaran Agama Islam, mungkin tulisan dibawah ini akan cocok untuk di jadikan refrensi pembuatan makalahmu. semoga bermanfaat.



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnyaditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan carayang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggaldunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisantanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuaikedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman,cucu, atau bahkan hanya  sebatas saudara seayah atau seibu.Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkanketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangatsedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yangmerinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkankewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Disamping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat
B.    Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.    Bagaimanakah waris dalam pandangan islam
2.    Bentuk-bentuk waris
3.    Bagaimanakah rukun warisnya
4.    Syarat- syarat waris dan;
5.    Ahli waris.

BAB II

ISI

A.    Definisi Waris

Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',atau dari suatu kaum kepada kaum lain.Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapimencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:'Ulama adalah ahli waris para nabi'.Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yangditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkanoleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutandengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan(misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).


Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1.    Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan hartamiliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebutmenyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainyahingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebutakan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2.    Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu.Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahliwarisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabdaRasulullah saw.:"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat,atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalanganulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Pendapat mazhabini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikanutang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepadasesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukanniat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewarismewasiatkan ataupun tidak.Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelummemenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hambadengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruhharta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3.    Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dariseluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagiorang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahliwarisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebutdiambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya. Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya,maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya.Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin AbiWaqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yangdimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepadaorang."
4.    Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahliwarisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli warisyang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris--jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).

Catatan: Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secarasyar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakanwasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranyaagar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntuthingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.

B.    Derajat Ahli Waris
Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut iniakan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
1.    Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalahorang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian. Ashabatnasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan.Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telahdibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabulfurudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak  berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istridisebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkantambahan dibandingkan lainnya.Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memilikikaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi(saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak  perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisantersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memilikikerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisanyang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istrimemiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yangmemerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salahsatu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain,artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluhanak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya.Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bilamemang wasiatnya demikian.
2.    Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupunkerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

C.    Bentuk-bentuk Waris
a.    Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
b.    Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
c.    Hak waris secara tambahan.
d.    Hak waris secara pertalian rahim.

D.    Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1.    Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan,sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahanyang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
2.    Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah.Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang.Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telahmengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWTmenganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itutidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanyatali pernikahan.

E.    Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
1.    Pewaris (Al-Muwarrits), yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2.    Ahli waris (Al-Warits), yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewarisdikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.    Harta warisan (Alhaqqul Mauruts), yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik  berupa uang, tanah, dan sebagainya.

F.    Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:1.Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnyadianggap telah meninggal).Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.2.Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewarisYang dimaksud dengan meninggalnya pewaris (baik secara hakiki ataupun secara hukum) ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa (atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal) maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

G.    Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
1.    Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik  budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuan nyameninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2.    Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakanyang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris. Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.

3.    Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim) Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid.  Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya ). Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad, Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadangmembingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum.Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yanglebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian,maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalamhal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya,yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabahDalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalausaja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandungtidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris.Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudarakandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekatdan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris

H.    Ahli Waris
Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut
1.    Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
3.    Bapak
4.    Kakek dari bapak dan terus ke atas
5.    Saudara laki-laki sekandung
6.    Saudara laki-laki sebapak
7.    Saudara laki-laki seibu
8.    Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9.    Anak laki-laki saudara sebapak
10.    Paman yang sekandung dengan bapak
11.    Paman yang sebapak dengan bapak
12.    Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13.    Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14.    Suami
15.    Laki-laki yang memerdekakan waris
Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut
1.    Anak perempuan
2.    Cucu perempuan dari anak laki-laki
3.    Ibu
4.    Nenek dari ibu
5.    Nenek dari bapak
6.    Saudara perempuan kandung
7.    Saudara perempuan bapak
8.    Saudara perempuan seibu
9.    Istri
10.    Wanita yang memerdekakan si pewaris
Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya 5 orang yaitu suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki, dan anak perempuan.
Berdasarkan ketentuan perolehan atau begian dari harta warisan, ahli waris dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu sebagi berikut
1.    Zawil Furud
Zawil wurud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al-Quran dan hadis (lihat QS An Nisa:11,12, dan 176). Dari ayat tersebut dapat diuraikan orang yang mendapat bagian seperdua, seperempat, dan seterusnya.
a.    Ahli waris yang mendapat 1/2, yaitu sebagai berikut
1)    Anak perempuan tunggal
2)    Cucu perempuan tunggal dari anak-anak laki
3)    Saudara perempuan tunggal yang sekandung
4)    Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada
5)    Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-laki.
b.    Ahli waris yang mendapat 1/4, sebagai berikut
1)    Suami apabila istrinya mempunyai anak cucu dari anak laki-laki
2)    Istri (seorang atau lebih) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
c.    Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri (seorang atau lebih) apabila suami mempunyai anak cucu dari anak laki-laki
d.    Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut
1)    Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki (menurut sebagian besar ulama)
2)    Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada (diqiyaskan kepada anak perempuan)
3)    Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung (seibu sebapak)
4)    Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
e.    Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut
1)    Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak mempunyai saudara-saudara (laki-laki atau perempuan) yang sekandung, yangs ebapak atau yang seibu,
2)    Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu apabila tidak ada anak atau cucu
f.    Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut
1)    Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki) atau mempunyai saudara-saudara (laki-laki atau perempuan) yang sekandung, yang sebapak tau seibu
2)    Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
3)    Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak). Nenek mendapat seperenam apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari pihak bapak dan ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang sama dari bagian yang seperenam itu.
4)    Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari laki-laki apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak dapat apa-apa
5)    Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki), sedangkan bapaknya tidak ada
6)    Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu
7)    Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih) apabila saudaranya meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi dua pertiga bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian         
2.    Asabah
Asabah adlah ahli waris yang bagian penerimaannya tidak ditentukan, tetapi menerima dan manghabiskan sisanya. Apabila ynag meninggal itu tidak mempunyai  ahli waris yang mendapat bagian tertemtu (zawil furud), maka harta peninggalan itu semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi apabila ada diantara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian asabah yang dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
a.    Asabah binafsih
Asabah binafsih yaitu asabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, diatur menurut susunan berikut
1.    Anak laki-laki
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki
3.    Bapak
4.    Kakek (datuk) dari pihak bapak dan terus ke atas, asal saja pertaliannya belum putus dari pihak bapak
5.    Saudara laki-laki sekandung
6.    Saudara laki-laki sebapak
7.    Anak saudara laki-laki kandung
8.    Anak saudara laki-laki sebapak
9.    Paman yang sekandung dengan bapak
10.    Paman yang sebpak dengan bapak
11.    Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
12.    Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
Asabah-asabah tersebut dinamakan asbah binafsih, karena mereka langsung menjadi asabah tanpa disebabkan oleh orang lain. Apabila asabah tersebut diatas semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang (asabah/ yang lebih dekat pertaliannya dengan prang yang meninggal itu. Jika ahli waris yan ditinggalkan ituanak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
b.    Asabah Bilgair
Perempuan juga ada yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai berikut
1.    Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan ketentuan bahwa untuk laki-laki mendapat bagian dua kali lipat perempuan.
2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
3.    Saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
4.    Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
Keempat macam asabah di atas dinamakan asabah bilgair (asabah dengan sebab orang lain). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara pembagiannya ialah untuk saudara laki-laki dua kali lipat perempuan. (lihat QS An Nisa 176).
c.    Asabah Ma’algair
Selain daripada yang telah disebutkan sebelumnya, ada satu lagi asabah yang dinamakan asbah ma’algair (asabah bersama orang lain). Asabah ini hanya dua macam, yaitu sebagai berikut
1)    Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) dan anak perempuan (seorang atau lebih) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan (seorang atau lebih), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara tersebut.
2)    Saudara perempuan sebapak apabila ahli waris saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) dan anak perempuan (seorang atau lebih), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan (seorang atau lebih), maka saudar perempuan menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki-laki maka kedudukannya berubah menjadi asabah bilgair (saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudar laki-laki).
3.    Hijab dan Mahjub
Hijab (penghalang) yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang. Hijab dibagi menjadi, yaitu sebagai berikut
a.    Hijab hirman, yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh sama sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh anak
b.    Hijab nuqsan (mengurangi), yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang. Contohnya, jika jenazah meninggalkan anak, suami mendapat ¼, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat ½.
Mahjub (terhalang, yaitu ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat sehingga sama sekali tidak dapat menerima, tetapi bagiannya berkurang.    
 

Daftar Pustaka

Munir dan Sudarsono. 2001. Dasar- dasar Agama Islam. Jakarta. Rineka Cipta
http://www.scribd.com/doc/49602989/pembagian-harta-waris-dalam-islam-LENGKAP

Post a Comment for "Makalah Hukum Waris dalam Ajaran Agama Islam"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel