Contoh Makalah Manusia Purba dari situs purbakala Sangiran
Manusia purba dari situs purbakala sangiran atau menurut wikipedia disebut dengan Manusia Jawa (Homo erectus paleojavanicus) adalah jenis Homo erectus yang pertama kali ditemukan. Pada awal penemuan, makhluk mirip manusia ini diberi nama ilmiah Pithecanthropus erectus oleh Eugène Dubois, pemimpin tim yang berhasil menemukan fosil tengkoraknya di Trinil, Ngawi pada tahun 1891. Nama Pithecanthropus erectus sendiri berasal dari akar bahasa Yunani dan latin dan memiliki arti manusia-kera yang dapat berdiri. Fosil yang lebih lengkap kemudian ditemukan di desa Sangiran, Jawa Tengah, sekitar 18 km ke Utara dari kota Solo. Fosil berupa tempurung tengkorak manusia ini ditemukan oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, seorang ahli paleontologi dari Berlin, pada tahun 1936. Selain fosil, banyak pula penemuan-penemuan lain di situs Sangiran ini.
Berikut ini adalah Contoh Makalah Manusia Purba dari situs purbakala Sangiran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sangiran merupakan lahan perbukitan tandus yang berada di perbatasan
Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs
Sangiran. Sangiran adalah situs arkeologi manusia purba terlengkap di Asia.
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C Schemulling tahun 1864 dengan
laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso. Luas situs Sangiran mencapai 56
km2 , lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang
memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu.
Dilokasi Sangiran ini pula ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus Erectus
untuk pertama kalinya oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koeningswald.
Koleksi yang tersimpan di museum Sangiran mencapai 13.806 yang tersimpan
pada dua tempat yaitu 2.931 tersimpan di ruang pameran dan 10.875 di dialam
ruang penyimpanan. Bahkan banyak orang asing yang menggunakan kawasan Sangiran
sebagai pusat laboratorium penelitian manusia purba. Museum Sangiran menyumbang
perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Geologi, Paleoanthropologi.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas Sangiran Laboratorium Manusia
Purba
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai
berikut :
1. Bagaiman sejarah situs Sangiran ?
2. Apa saja jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Sangiran ?
3. Mengapa Sangiran dijadikan laboratorium penelitian manusia purba?
1.3. Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapatlah dirumuskan tujuannya sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah situs Sangiran.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis manusia purba
yang ditemukan di Sangiran.
3.
Untuk mengetahui alasan Sangiran dijadikan labratorium penelitian manusia
purba.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA PURBA
Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs
arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini merupakan lokasi penemuan beberapa
fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam sejarah perkembangan manusia
dunia. Sangiran memberi informasi lengkap sejarah kehidupan manusia purba
meliputi habitat, pola kehidupannya, binatang yang hidup bersamanya, hingga
proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta tahun
(Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah).
Area ini memiliki luas kurang lebih 56 km² dan
sebagian besar berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah utara Kota Surakarta, di lembah
Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian yang merupakan bagian dari
Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).
Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya dan pada tahun 1996 situs
ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Sangiran terdaftar dalam Situs
Warisan Dunia UNESCO sebagai World Heritage (No. 593, dokumen
WHC-96/Conf.201/21).
Situs Sangiran merupakan obyek wisata ilmiah yang
menarik. Tempat ini memiliki nilai tinggi bagi ilmu pengetahuan dan merupakan
aset Indonesia. Sejak ditetapkannya sebagai World Heritage oleh UNESCO,
Sangiran memberi sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
khususnya ilmu arkeologi, geologi, paleoanthropologi, dan biologi.
Dijadikannya Sangiran sebagai pusat kajian manusia
purba dan kajian evolusi manusia terbesar di Asia bahkan Dunia, karena di situs
ini ditemukan fosil peninggalan manusia purba
dari 2,4 juta tahun silam. Tak hanya fosil manusia, tapi juga berbagai
fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti
buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa,
harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern). Ditemukan pula alat
produksi manusia purba yang digunakan dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan
situs-situs manusi purba di Cina seperti Zhudian, Yuanmo dan Longhupa yang
hanya menyajikan peninggalan purba kurang dari dua juta tahun.
2.2. Sejarah Eksplorasi dan Berdirinya Museum
Sangiran
Awalnya Situs Sangiran adalah sebuah kubah
penelitian yang dinamakan Kubah Sangiran kemudian tererosi bagian puncaknya
sehingga membentuk sebuah depresi akibat pergerakan dari aliran sungai. Pada
depresi itu ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan
di masa lampau. Sangiran dilewati oleh sungai yang sangat indah, yaitu Kali
Cemoro yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah inilah yang mengalami erosi tanah
sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah
yang satu dengan lapisan tanah yang lain.
Dalam lapisan-lapisan tanah inilah yang hingga
sekarang banyak ditemukan fosil-fosil manusia maupun binatang purba.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang
tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan
permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun
di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah
tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang
besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang
landai. Beberapa aktifitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan
tanah/formasi periode pleistocen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat
pleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan
pleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di
lapisan-lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara
dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von
Koenigswald memulai penelitian di area tersebut dan menemukan beberapa alat
sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut
Kubah Sangiran. Von Koenigswald adalah seorang ahli paleoantropologi dari
Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun 1930-an.
Setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta (“tulang
buta/raksasa”) oleh warga dan diperdagangkan.
Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat
penemuan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”)
oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak
di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 Km timur Sangiran. Dengan dibantu oleh
Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap hari von
Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar.
Von Koenigswald adalah orang yang telah berjasa
melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk
memperlakukan fosil yang ditemukan. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil
penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih
fosil Homo erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar, termasuk
seri Meganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan
kawasan sekitarnya.
Penggalian oleh tim Von Koenigswald berakhir 1941.
Koleksi-koleksinya sebagian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto
Marsono di Sangiran sampai tahun 1975, yang kelak menjadi Museum Purbakala
Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di Jerman,
Franz Weidenreich. Pada waktu itu banyak wisatawan yang datang berkunjung ke
tempat tersebut, maka muncullah ide untuk membangun sebuah museum. Pada awalnya
Museum Sangiran dibangun di atas tanah seluas 1.000 m2 yang terletak di samping
Balai Desa Krikilan. Sebuah museum yang representatif baru dibangun pada tahun
1980 karena mengingat semakin banyaknya fosil yang ditemukan dan sekaligus untuk
melayani kebutuhan para wisatawan akan tempat wisata yang nyaman. Bangunan
tersebut seluas 16.675 m2 dengan ruangan museum seluas 750 m2.
Bangunan tersebut bergaya joglo dan terdiri dari
ruang pameran, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang audio visual (tempat
pemutaran film tentang kehidupan manusia prasejarah), gudang penyimpanan,
mushola, toilet, area parkir, dan kios suvenir (khususnya menjual handicraft
“batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro). Berikut ini
adalah beberapa koleksi yang tersimpan di Museum Sangiran:
Fosil
manusia, antara lain Australopithecus africanus (replika), Pithecanthropus
mojokertensis (Pithecanthropus robustus) (replika), Homo soloensis (replika),
Homo neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo
sapiens.
Fosil
binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau),
Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak),
Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
Fosil
binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan
kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda
dan Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
Batuan,
antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.
Artefak
batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu
dan kapak perimbas-penetak.
2.3. Misteri Sangiran Yang Terungkap
Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an,
masyarakat di sana hanya mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di
lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-tulang raksasa.
Balung adalah bahasa Jawa yang berarti tulang dan buto adalah raksasa. Dengan
demikian, secara harfiah, balung buto mempunyai arti tulang raksasa. Selain
itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan tradisi lisan
atau mitos mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan
Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur
dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat
potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto. Para
tetua kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos
tentang asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka
yang masih percaya akan kebenarannya.
Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap
memiliki kekuatan magis. Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai
penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga
dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran
bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung buto yang banyak banyak
bermunculan di berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng
perbukitan—jarang diganggu oleh penduduk setempat. Koenigswald mengubah
pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah situs Sangiran, dengan kondisi alam yang
tandus-gersang dan berbukit-bukit, memang tidak memungkinkan bagi peneliti
asing itu bekerja sendiri.
Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald
meminta bantuan penduduk. Ilmuwan asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru
kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil dan artefak purba. Sebagai
imbalan atas keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem upah berupa
uang kepada penduduk yang menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam,
bergantung pada jenis fosil dan kelangkaannya. Masyarakat pun mulai sadar,
ternyata benda yang dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang
cukup menjanjikan.
Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap
digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian dan nilainya pun berhasil
diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula, masyarakat Sangiran
mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto, yang
semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi
semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampau
merupakan kawasan subur tempat sumber makanan bagi ekosistem kehidupan.
Keberadaanya di wilayah khatulistiwa, pada jaman fluktuasi jaman
glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba untuk
mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran pada kala
pleistosen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada masa
itu. Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil
dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala
pleistosen. Mereka membuat pangkalan dalam aktifitas perburuan untuk
mendapatkan sumber kebutuhan hidupnya.
Pilihan situs kubah Sangiran sebagai pangkalan
aktifitas perburuan mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup) atau
old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs
sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia purba,
fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang
posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan
suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan
terjadinya reverse (kenampakan terbalik), hal ini dibuktikan dengan endapan
yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng
biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan lautan dan
hingga sekarang ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut. Kondisi
deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali
Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis
situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran
sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara
alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan
vertebrata). Keadaan geo-stratigrafi dari pengamatan stratigrafi batuannya
dapat diketahui menjadi beberapa formasi, diantaranya :
Formasi
Kalibeng
Formasi
Pucangan
Formasi
Grenzbank
Formasi
Kabuh
Formasi
Notopuro
Formasi
Teras Solo (Kali Pasir)
Kawasan Sangiran menyimpan misteri yang sangat
menarik untuk diungkap. Manusia purba jenis Homo erectus yang ditemukan di
wilayah Sangiran ada sekitar lebih dari 100 individu yang mengalami masa
evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh
fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah
fosil sejenis yang ditemukan didunia. Jenis Homo erectus yang ditemukan adalah
dari masa Pleistosen Awal dan Pleistosen Tengah, dan mungkin juga pada
Pleistosen Akhir. Manusia jenis ini mempunyai ciri-ciri tinggi badan kurang
lebih 165-180 cm dengan postur yang tegap, tetapi tidak setegap Meganthropus.
Mereka memiliki geraham yang masih besar, rahang kuat, tonjolan kening tebal
serta melintang pada dahi dari pelipis ke pelipis dan tonjolan belakang
kepalanya nyata, dagu belum ada dan hidung lebar. Perkembangan otaknya baru
memiliki volume sekitar 800-1100 cc dan manusia ini digolongkan dalam Homo
erectus arkaik.
Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat
ini sebanyak 13.809 buah. Sebanyak 2.934 fosil disimpan di Ruang Pameran Museum
Sangiran dan 10.875 fosil lainnya disimpan di gudang penyimpanan. Beberapa
fosil manusia purba disimpan di Museum Geologi Bandung dan Laboratorium
Paleoanthropologi Yogyakarta. Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan
asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia
dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok
Pithecanthropus arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah)
yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7 – 0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok
ini adalah Meganthropus palaeojavanicus dan Pithecanthropus mojokertensis.
Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus klasik yang berasal dari Formasi
Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun.
Jenis kelompok ini (Homo erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok
yang ketiga adalah Pithecanthropus progresif yang berasal dari Formasi Notopuro
(Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk
dalam kelompok ini adalah temuan Homo soloensis dari Ngandong dan Trinil
(Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
Demikianlah karya ilmiah mengenai “Sangiran
Laboratorium Manusia Purba” ini. Sebagai warga negara yang baik kita harus bisa
melestarikan kekayaan budaya baik itu wisata maupun sejarah bangsa. Agar tidak
punah oleh waktu. Selain itu kita juga harus bisa menjaganya agar tetap lestari
dan berkembang.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Ladang fosil di situs Sangiran sangat khas, Anda
dapat melihat jelas pada bagian yang bertebing curam yaitu stratigrafi yang
menunjukkan empat formasi (lapisan tanah). Stratigrafi merupakan studi mengenai
sejarah, komposisi dan umur relatif serta distribusi perlapisan tanah dan
interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah Bumi.
Keberadaan Kawasan Sangiran sangatlah penting dan
menarik, secara nyata Anda dapat melihat lokasi temuan dan lapisan stratigrafi
yang sudah berumur jutaan tahun. Saat ini arealnya seluas 56 km² tersebut masih
dihuni oleh masyarakat sekitar Sangiran. Sangiran merupakan aset yang sangat
penting secara nasional maupun internasional.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa :
1.
Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa,
Indonesia. Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15
km (tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).
2.
Ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya
disimpan di gudang penyimpanan. Sebagai World Heritage List (Warisan Budaya
Dunia).
3.2. SARAN
Kita sebagai penerus bangsa Indonesia harus tetap
menjaga penemuan-penemuan purbakala baik yang berada di daerah kita maupun di
daerah lain.
REFERENSI
Santosa,
Hery (2000). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Universitas
SanataDharma.
Sulistyanto, Bambang (2011). Mitos Balung Buto: Tafsir Makna dan Relevansinya
terhadap Benda Cagar Budaya Sangiran. Diakses 24 Juni 2014,
Tersedia:http://hurahura.wordpress.com/2011/07/05/mitos-balung-buto-tafsir-makna-dan-relevansinya-terhadap-benda-cagar-budaya-sangiran/
Gunawan,
Restu dkk (2013). Sejarah Indonesia kelas X. Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
http://www.indonesia.travel. Sangiran: Situs dan Museum Manusia Purba di
Lembah Bengawan Solo. Diakses 24 Juni 2014
http://www.museumindonesia.com. Museum Purbakala Sangiran. Diakses 24
Juni 2014. Tersedia:
http://www.museumindonesia.com/museum/19/1/Museum_Purbakala_Sangiran_Sragen
http://www.wikipedia.org. Sangiran. Diakses 24 Juni 2014. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sangiran
Http://yogapermanawijaya.wordpress.com
Post a Comment for "Contoh Makalah Manusia Purba dari situs purbakala Sangiran"