Contoh makalah teks drama
Drama merupakan genre (jenis) karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak. Drama menggambarkan realita kehidupan, watak, serta tingkah laku manusia melalui peran dan dialog yang dipentaskan. Kisah dan cerita dalam drama memuat konflik dan emosi yang secara khusus ditujukan untuk pementasan teater.Naskah drama dibuat sedemikian rupa sehingga nantinya dapat dipentaskan untuk dapat dinikmati oleh penonton
Berikut ini adalah Contoh makalah teks drama
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Putu Wijaya adalah seorang sastrawan di Indonesia yang masih aktif dalam
kegiatan kesastrawanannya khususnya dalam bidang darama teater. Kali ini kita
akan membahas tentang salah satu karyanya yaitu novel Bila Malam Bertambah
Malam. Dalam novel yang terlalu rumit ini bagaimana pencerita menggabungkn
antara latar dengan bagaimana keadaan setiap tokohnya, namun disusun dengan
rapi.
Dalam novel ini menceritakan bagaimana dalam sebuah
keluarga yang banyak sekali kepura-puraan. Dalam kepura-puraan itu sebenarnya
setiap tokok mempunyai seuatu perasaan kepada tokoh lain. Kenapa saya sebut
menarik, karena kepura-puraan atau kemunafikan telah banyak dilakukan di dalam
kehidupan kita.
Dalam keadaan masyarakat dan bangsa yang sudah sulit untuk saling memprcayai
karena sebab kepura-puraan itu sendiri. Sehingga dalam novel ini sangat
menggambarkan jelas bagaimana Putu Wijaya mampu mengangkat realitas kedalam
cerita fiktif namun dalam keadaan yang sebenarnya novel ini berbeda tipis
antara bagaimana novel ini disebut sebagai cerita fiktif atau realitas.
1.2
Sistematika
Novel ini
menceritakan seorang janda yang begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup
di rumah peninggalan suaminya dengan dilayani dua pembantu: seorang lelaki tua
bernama Wayan, dan seorang wanita muda bemama Nyoman Niti. Pada puncak
pertengkaran dengan majikan, Wayan meninggalkan tempat ia mengabdi, setelah
Nyoman pergi mendahuluinya. Akan tetapi, kepergiannya terhalang mendengar
pertengkaran janda bangsawan itu dengan anaknya yang baru dating dari Pulau
Jawa, Ngurah. Karena persoalan bedil yang dibawa Wayan, terbukalah rahasia
keluarga itu. Wayan sebenarnya adalah ayah Ngurah, karena suami Gusti Biang,
yaitu Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukanlah lelaki sejati. Bahkan suami yang
selalu dibanggakan sebagai pahlawan itu sebenarnya seorang pengkhianat, sebab
ia adalah mata-mata Nica.
Dalam
permasalahan keluarga Gusti Biang, sebenarnya ia mencintai wayan namun karena
tidak ingin anaknya mengetahui bahwa ayah yang sebenarnya adalah seorang
pembantinya, maka Gusti Biang mengungkapkan rasa cintanya kepada wayan dengan
membentak-bentak dan memarahi wayan, namun dalam hatinya berbeda.
Permasalahan juga datang saat Ngurah anak Gusti Biang
ingin menikahi Nyoman yang notabene adalah pembantunya sendiri. Gusti Biang
menolak jika Ngurah ingin menikahi nyoman kecuali hanya dijadikan selir.
Setelah itu
Ngurah yang tahu bahwa I Gusti Ngurah Ketut bukan ayah sebenarnya dan
mengetahui bahwa sebenarnya adalah seorang mata-mata Nica maka Ngurahpun perlahan
benci. Setelah Bedil yang dimiliki oleh Wayan mengenai I Gusti maka Ngurah pun
tidak sedih karena I Gusti dianggapnya sebagai penghianat.
Ketika Wayan
membuka rahasia keberadaan Ngurah: Wayanlah ayah kandung Ngurah, sebab suami
Gusti Biang wangdu. Wayanlah yang selalu memenuhi tugas
sebagai suami bagi istri-istri I Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima
belas.
Cerita berakhir
dengan kebahagiaan bagi semua: pasangan Ngurah – Nyoman, dan pasangan
tersembunyi Mirah – Wayan. Tenyata motivasi pengabdian dalam keluarga itu
adalah agar ia selalu dapat menjaga orang yang dikasihinya, demikian pula
motivasi Nyoman. Tanpa motivasi tersebut, mereka sudah lama tidak kuat berdiam
di puri tua itu.
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
Pendekatan
Sosiologi Sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami
karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan
(wiyatmi, 2003). Dalam karya sastra tidak dapat kita pisahkan dengan kehidupan
masyarakat yang ada, pada dasarnya penulis adalah bagian dari sebuah struktur
masyarakat.
Dalam sebuah
karya sastra memang mempunyai tujuan, dan berbagai macam tujuan itu pasti ada
sebuah realitas yang menjadi dasar ekspresi pengarang menciptakan sebuah karya
sastra, sehingga karya sastra tidak akan jauh antara sastrawan, karya sastra
dan masyarakat.
Selain itu
beberapa pendekatan lain guna mendukung adalah Pendekatan psikologi sastra.
Dalam penciptaan karya sastra memang kadang-kadang ada teori psikologi
tentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar, dan teori tersebut
ternyata cocok untuk menjelaskan tokoh-tokoh dan situasi cerita (Wellek &
Warren, 1990). Sehingga sangat dimunginkan kita menemukan pesan moral yang
sangat jelas dengan menilai bagaimana tokoh dalam mengahadapi situasi yang ada.
2.1 Biografi
I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir di Puri Anom
Tabanan, Tabanan, Bali, 11 April 1944; umur 70 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia
penulis drama, cerpen, esai, novel dan juga skenario film dan sinetron.
Putu Wijaya adalah bungsu dari lima bersaudara seayah
maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang
dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan
punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan
punggawa yang keras dalam mendidik anak dan ibunya bernama Mekel Ermawati.
Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Putu menulis sejak SMP. Tulisan pertamanya sebuah
cerita pendek berjudul "Etsa" dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali.
Pertama kali main drama ketika di SMA, memainkan drama sendiri dan
menyutradarai dengan kelompok yang didirikannya sendiri di Yogyakarta. Ikut Bengkel
Teater 1967-1969. Kemudian bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta. Sempat
main satu kali dalam pementasan Teater Populer. Selanjutnya dengan Teater
Mandiri yang didirikan pada tahun 1971, dengan konsep
"Bertolak dari Yang Ada. [2]
Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia
juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia
memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun
di luar negeri, beberapa diantaranya yaitu mementaskan naskah Gerr (Geez), dan
Aum (Roar) di Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York City, dan pada tahun 1991
membawa Teater Mandiri dengan pertunjukkan Yel keliling Amerika. [3]. Puluhan penghargaan ia raih
atas karya sastra dan skenario sinetron.
Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel
karyanya sering muncul di majalah
Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia
telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film
Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang
Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku
yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila
Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba
Malam, Sobat, Nyali. Sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, Arab dan Thailand. [4]
2.2 Pendidikan
2.3 Karya dan karier
Ø Karya drama
§ Invalid (1974)
§ Tak Sampai Tiga Bulan
(1974)
§ Anu (1974)
§ Aduh (1975)
§ Dag-Dig-Dug (1976)
§ Gerr (1986)
§ Edan (1988)
§ Hum-Pim-Pah (1992)
§ Konspirasi Kemakmuran
§ Blongkan
§ Ayokan
§ Awaskan
§ Labil Ekonomi
§ Aumkan
§ Zatkan
§ Taikan
§ Frontkan
§ Aibkan
§ Wahkan
§ Hahkan
§ Jepretin tuh Staples!
(2011)
§ Aeng
§ Aut
§ Dar-Dir-Dor
§ Karya novel
§ Aduh
§ Bali
§ GURU
§ Gres
§ Merdeka
§ Nyali
§ Putri
Ø Karya cerpen
Karyanya yang berupa
cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978)
§ Es Campur (1980)
§ Gres (1982)
§ Klop
§ Bor
§ Protes (1994)
§ Darah (1995)
§ Yel (1995)
§ Blok (1994)
§ Zig Zag (1996)
§ Tidak (1999)
§ Peradilan Rakyat
(2006)
§ Motherfucking Piece
of Shit! (2010)
§ Karya Novelet:
§ MS (1977)
§ Tak Cukup Sedih
(1977)
§ Ratu (1977)
§ Sah (1977)
Ø Karya esai
Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban,
Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak
dari yang Ada.
2.4 Penghargaan yang
telah diterima
§ Pemenang penulisan
puisi Suluh Indonesia Bali
§ Pemenang penulisan
novel IKAPI
§ Pemenang penulisan
drama BPTNI
§ Pemenang penulisan
drama Safari
§ Pemenang penulisan
cerita film Deppen (1977)
§ Tiga buah Piala Citra
untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
§ Empat kali pemenang
sayembara penulisan lakon DKJ
§ Pemenang penulisan
esei DKJ
§ Dua kali pemenang
penulisan novel Femina
§ Dua kali pemenang
penulisan cerpen Femina
§ Pemenang penulisan
cerpen Kartini
§ Pemenang sinetron
komedi FSI (1995)
§ Pemenang penulisan
esei Kompas
§ Penghargaan Akademi
Jakarta(2009)
2.5 Kegiatan lainnya
§ Dosen tamu teater dan
sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS
(1985-1988)
2.6 Resume Novel “Bila Malam Bertambah Malam”
Keberadaan karya
sastra angkatan '66 ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan
Mochtar Lubis. Karya sastra pada angkatan ini sangat beragam akan aliran sastra
yaitu surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya
sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Beberapa
satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta,
Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma,
Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan
banyak lagi yang lainnya.
Salah satu
sastrawan yang termashyur pada masa itu adalah Putu Wijaya. Putu Wijaya sudah
menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan
esai, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan
sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan
telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan
penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Cerita pendek
karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan.
Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison.
Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film
Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai
seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang
banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram,
Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Karya sastranya
yang terkenal salah satunya adalah "Bila Malam Bertambah Malam."
Novel ini mengisahkan tentang kesetiaan untuk memelihara cinta yang berbenturan
dengan keangkuhan tatanan sosial yang membeda-bedakan manusia, disini
mengisahkan bagaimana dalam sebuah keluarga terdapat banyak sekali
kepura-puraan. Dalam kepura-puraan itu sebenarnya setiap tokoh mempunyai seuatu
perasaan kepada tokoh lain. Kisahnya berlangsung di Tabanan, Bali. Seorang
janda bernama Gusti Biang, bangsawan tua sisa-sisa feodalisme Bali, begitu
membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup di rumah peninggalan suaminya dan
dilayani oleh dua pembantu, yaitu seorang lelaki tua bernama Wayan, dan seorang
wanita muda bernama Nyoman Niti.
Gusti Biang
masih ingin mempertahankan tatanan lama yang menjerat manusia berdasarkan
kasta. Tapi putranya, Ratu Ngurah, jatuh cinta kepada Nyoman Niti, pembantu
Gusti Biang yang menyadari kemerdekaannya sebagai pribadi. Guncangan pun tak
terhindarkan akibat benturan antara nilai-nilai lama yang telah melapuk dan
nilai-nilai baru yang hendak mekar. Dan kuncinya ada di tangan Wayan, veteran
perang kemerdekaan dan kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Rai yang gugur dalam
Perang Puputan, yang selama bertahun-tahun setia mengabdi pada keluarga Gusti
Biang.
Suatu hari, pada
puncak pertengkaran dengan majikan, Wayan meninggalkan rumah majikannya
itu setelah Nyoman pergi mendahuluinya. Akan tetapi, kepergiannya tertunda
karena mendengar pertengkaran janda bangsawan itu dengan anaknya yang baru
datang dari Pulau Jawa, Ngurah. Karena persoalan bedil yang dibawa Wayan,
terbukalah rahasia keluarga itu. Wayan sebenarnya adalah ayah Ngurah, karena
suami Gusti Biang, yaitu Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukanlah lelaki sejati.
Bahkan suami yang selalu dibanggakan sebagai pahlawan itu sebenarnya seorang
pengkhianat, sebab ia adalah mata-mata Nica.
Dalam
permasalahan keluarga Gusti Biang, sebenarnya ia mencintai Wayan namun karena
tidak ingin anaknya mengetahui bahwa ayah aslinya adalah seorang pembantu, maka
Gusti Biang mengungkapkan rasa cintanya kepada Wayan dengan membentak-bentak
dan memarahi Wayan, namun dalam hatinya berbeda.
Permasalahan
juga datang saat Ngurah anak Gusti Biang ingin menikahi Nyoman yang notabene
adalah pembantunya sendiri. Gusti Biang menolak jika Ngurah ingin menikahi
nyoman kecuali hanya dijadikan selir.
Setelah itu Ngurah yang tahu bahwa I Gusti Ngurah
Ketut bukan ayah sebenarnya dan mengetahui bahwa sebenarnya adalah seorang
mata-mata Nica maka Ngurah pun perlahan benci. Setelah Bedil yang dimiliki oleh
Wayan mengenai I Gusti maka Ngurah pun tidak sedih karena I Gusti dianggapnya
sebagai penghianat.
Ketika Wayan membuka rahasia keberadaan Ngurah:
Wayanlah ayah kandung Ngurah, Wayanlah yang selalu memenuhi tugas sebagai suami
bagi istri-istri I Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima belas.
Cerita berakhir
dengan kebahagiaan bagi semua: pasangan Ngurah – Nyoman, dan pasangan
tersembunyi Mirah – Wayan. Tenyata motivasi pengabdian dalam keluarga itu
adalah agar ia selalu dapat menjaga orang yang dikasihinya, demikian pula
motivasi Nyoman. Tanpa motivasi tersebut, mereka sudah lama tidak kuat berdiam
di puri tua itu.
Dalam novel ini
di ketahui bahwa kemunafikan Gusti Biang yang tidak mau mengungkapkan yang
sebenarnya karena Wayan hanyalah seorang pembantu I Gusti Ngurah Ketut dan
bagaimana tersiksanya batin Gusti Biang dan Wayan yang sama-sama memendam
perasaannya. Selebihnya adalah bagaimana Gusti Biang menutupi kebohongan I
Gusti Ngurah Ketut yang selama ini adalah mata-mata Nica dari anaknya sendiri, Ngurah.
Dalam novel ini
dapat dilihat bagaimana seorang Putu Wijaya mengonstruksi dan membuat sebuah
alur cerita dengan rapi dan bagaimana penulis menjadikan psikologi tokoh
digambarkan secara nyata dengan dialog yang singkat namun menghidupkan suasana
dalam novel dan klimaks tersebut. Jika kita melihat dalam kenyataan yang nyata,
topeng-topeng ini sering dipakai demi menutupi kebohongan-kebohongan yang
dilakukan. Tidak hanya dalam rumah tangga, namun dalam berbagai bidang dan yang
paling sering adalah masalah percintaan dimana seoserang memanfaatkan berbagai
situasi yang ada untuk sebuah kepentingan yang menguntungkan bagi sebagian
pihak.
Putu Wijaya juga
sukses membuat bagaimana alur itu menjadi sangat hidup dengan pertikaian yang
sebenarnya sangat sederhana. Pertikaian yang muncul adalah masalah yang
kompleks dan dapat atau sering kita jumpai dalam masyarakat kita. Dalam novel
ini juga dapat diambil beberapa pesan moral yaitu dalam sebuah kejujuran memang
sangatlah sulit untuk membuat situasi menjadi biasa. Terkadang kejujuran itu
membutuhkan sebuah situasi yang jujur dan mampu menanggung segala resiko dengan
baik dari segala perbuatan, sehingga topeng kemunafikan itu pun dapat
disingkirkan.
2.7 Sinopsis naskah drama
Judul : Bila Malam Bertambah Malam
Karya : Putu
Wijaya
Tema :
Cinta dan Keangkuhan Manusia
Tokoh :
1. GUSTI BIANG (pemarah, egois, sombong)
3. NYOMAN (baik hati, sabar, setia)
4. RATU NGURAH (baik, bijaksana, rendah hati, setia)
1. GUSTI BIANG (pemarah, egois, sombong)
2. WAYAN (baik hati, setia, lucu)
3. NYOMAN (baik hati, sabar, setia)
4. RATU NGURAH (baik, bijaksana, rendah hati, setia)
Tahun terbit :
1970
ISBN :
9794191698
LEPASNYA TOPENG
KEMUNAFIKAN – NOVEL BILA MALAM BERTAMBAH MALAM
KARYA PUTU
WIJAYA
SINOPSIS :
Di Tabanan Bali Gusti
Biang adalah janda almarhum I Gusti Rai seorang bangsawan yang dulu sangat
dihormati karena dianggap pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang hanya
tinggal bersama dengan Wayan,seorang lelaki tua yang merupakan kawan
seperjuangan I Gusti Ngurah Rai dan Nyoman Niti seorang gadis desa yang selama
kurang lebih 18 tahun tinggal di puri itu.Sementara putra semata wayangnya Ratu
Ngurah telah lima tahun meninggalkannya karena ia sedang menuntut ilmu di jawa.
Sikap Gusti
Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang menjerat manusia
berdasarkan kasta,membuat ia sombong dan memandang rendah orang lain. Nyoman Niti
yang selalu setia melayani Gusti Biang,haru rela menelan pil pahit akibat sikap
Gusti Biang yang menginjak-injak harga dirinya.Telah lama Nyoman Niti
ingin meninggalkan puri itu karena ia sudah tdak sanggup menahan radang
kemarahan terhadap Gusti Biang.Namun Nyoman selalu urung manakala
Wayan yang selalu baik dan menghiburnya membujuknya untuk bersabar dan tetap
setia menjaga Gusti Biang demi cintanya pada Ratu Ngurah. Nyoman Niti tak kuasa
lagi menahan emosi yang bertahun-tahun ia pendam manakala Gusti Biang
benar-banar menindasnya. Gusti Biang menuduh Nyoman akan meracuninya dengan
obat-obatan yang Nyoman berikan. Bahkan Gusti Biang tidak segan-segan memukul
Nyoman dengan tongkat gadingnya. menimpa ia dan Gusti Biang terulang lagi.
Wayan juga Akhirnya Nyoman Niti pun bergegas meninggalkan puri itu. Wayan pun
tak mampu menahan kepergiannya. Tapi alangkah terkejutnya Nyoman ketika Gusti
Biang membacakan biaya yang dikeluarkannya membiayai Nyoman selama kurang lebih
18 tahun. Nyomn tidak menyangka Gusti Biang setega itu akhirnya Nyoman pergi
dengan berurai air mata dalam suasana malam yang sunyi.
Wayan pun
menyuruh Ngurah pergi mengejar cintanya yaitu Nyoman Niti. Wayan tidak ingin
kejadian yang menasehati Gusti Biang agar merestui hubungan putranya dengan Nyoman.
Ia juga mengingatkan cinta yang tak samapi antara dirinya dan gusti Biang hanya
perbedaan kasta yang membuat kduanya begitu menderita akhirnya Gusti Biang yang
bernama asli Sagung Mirah merestui hubungan Ratu Ngurah dan Nyoman.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam keadaan sekarang topeng kemunafikan memang sudah
banyak dipakai, baik di berbagai kalangan. Lebih disayangkan lagi jika dalam
novel ini dibahas kemunafikan dalam rumah tangga Gusti Biang, namun dalam
ralitasnya topeng kemunafikan dipakai oleh kalangan dan sebagian orang yang
diatasnamakan kepentingan rakyat.
Dalam novel ini di ketahui bahwa kemunafikan Gusti
Biang yang tidak mau mengungkapkan yang sebenarnya karena Wayan hanyalah
seorang pembantu I Gusti Ngurah Ketut. dan bagaimana tersiksanya batin kedua
tokoh yaitu Gusti Biang dan Wayan yang sama-sama memendam perasaannya.
Selebihya adalah bagaimana Gusti Biang menutupi kebohongan I Gusti Ngurah Ketut
yang selama ini adalah mata-mata Nica dari anaknya sendiri Ngurah.
Dalam novel ini dapat dilihat bagaimana seorang Putu
Wijaya mengkonstrusi dan membikin sebuah alur cerita dengan rapi dan bagaimana
penulis menjadikan psikologi tokoh digambarkan secara nyata dengan dialog yang
singkat namun menghidupkan suasana dalam novel dan klimaks tersebut.
Jika kita melihat dalam kenyataan yang nyata,
topeng-topeng ini sering dipakai demi menutupi kebohongan-kebohongan yang
dilakukan. Tidak hanya dalam rumah tangga, namun dalam berbagai bidang dan yang
paring sering adalah dalam masalah percintaan. Dimana seorang memanfaatkan
berbagai situasi yang ada untuk sebuah kepentingan yang menguntungkan bagi
sebagian pihak.
Putu Wijaya juga sukses membuat bagaimana alur itu
menjadi sangat hidup dengan pertikaian yang sebenarnya sangat sederhana. Pertikaian
yang muncul adalah masalah yang kompleks dan dapat atau sering kita jumpai
dalam masyarakat kita. Dalam novel ini juga dapat diambil beberapa pesan moral
yaitu dalam sebuah kejujuran memang sangatlah sulit untuk membuat situasi
menjadi biasa. Terkadang kejujuran itu membutuhkan sebuah situasi yang jujur
dan mampu menanggung segala resiko dengan baik dari segala perbuatan, sehingga
topeng kemunafikan itu pun dapat disingkirkan.
DAFTAR PUSTAKA
- https://id.wikipedia.org/wiki/Drama
- http://fadilabahasaindonesia.blogspot.com/2016/06/makalah-teks-dram.html
Post a Comment for "Contoh makalah teks drama"