Contoh makalah toleransi antar umat beragama
Toleransi adalah suatu sikap saling
menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam
masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi
menghindarkan terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok
atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat.
berikut ini adalah Contoh makalah toleransi antar umat beragama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Toleransi (Arab: as-samahah) adalah
konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling
bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara
etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan
konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran
agama-agama, termasuk agama Islam.
Dalam konteks toleransi antar-umat
beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” ,
“Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh
populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang
tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam
sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi
dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam
itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam
karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para
ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik
kesejarahan dalam masyarakat Islam.
Menurut ajaran Islam,
toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam
semesta, binatang, dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas
semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh
perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang
menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif,
primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari
Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan
ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik
toleransi dalam kehidupan manusia.
B. Rumusan Masalah
a. Kendala
apa yang menjadi permasalahan dalam mencapai kerukunan umat beragama di
Indonesia?
b.
Bagaimana masyarakat menghadapi permasalahan/kendala dalam mencapai kerukunan
antar umat beragama di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
makalah ini bermaksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI)
dan untuk menambah wawasan para pembaca tentang kerukunan umat beragama di
Indonesia serta permasalahan yang di hadapi. Semoga Bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Makna Agama
Islam Serta Karakteristiknya
1. Makna agama islam
Kata islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan
diri, patuh dan taat. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama islam adalah
agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan dan
kesejahteraan kehidupan umat manusia pada khususnya dan semua makhluk Allah
pada umumnya. Kondisi tersebut akan terwujud jika manusia sebagai penerima
amanah Allah dapat menjalankan aturan tersebut secara benar.
2. Karakteristik ajaran agama
islam
Karakteristik ajaran agama islam yaitu :Sesuai dengan fitrah
manusia
· Ajarannya
sempurna
· Kebenarannya
mutlak
· Mengajarkan
keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
· Fleksibel
dan ringan
· Berlaku
secara universal
· Sesuai
dengan fikiran dan memotivasi manusia untuk menggunakan akal pikirannya
· Inti
ajarannya tauhid dan seluruh ajarannnya mencerminkan ketauhidan Allah tersebut
· Mencerminkan
rahmat, kasih sayang Allah terhadap makhluk_Nya
Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran islam :
v Islam menunjukkan manusia jalan hidup yang benar
v Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk
menggunakan potensi yang diberikan oleh Allah secara bertanggung jawab
v Islam menghargai dan menghormati semua manusia
sebagai hamba Allah, baik mereka manusia sebagai hamba Allah, baik mereka
muslim ataupun non muslim
v Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan
proporsional
v Islam menghormati kondisi pesifik individu dan
memberikan perlakuan yang spesifik pula.
B. Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat
dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang
untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan.
Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis,
Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat
dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat
dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap
dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan
manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan
sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk
mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu
pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan
pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama
terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang
fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu
menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang
optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun
1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang
tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai
muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya
mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup
diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai
lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain,
maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai
satu sama lain.
C. Kendala-Kendala
1.
Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut
Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang
ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan
(lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai
akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama,
khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat
beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja,
dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda
keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama
mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain
bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.
2.
Kepentingan Politik
Faktor
Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam
mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika
bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah
kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama
bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun
hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut
memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir
menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis
melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir
bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang
mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara
tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan
alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3.
SikapFanatisme
Di kalangan
Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan
akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan
yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni
pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana
sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama
yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia
harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut
perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini
tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama
tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama
gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan
mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini,
hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau
keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte
dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Dari uraian diatas, sangat jelas
sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang
menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.
D. Solusi
1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka
politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan
pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa
dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut
sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang
kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai
“sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai
“sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik”
(political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan
Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan
sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik,
yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang
pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful
co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan
juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan
peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita
akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu
komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan
komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti
dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh
sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi
negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas
tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya,
sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang
mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi
perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis―
pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal
ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering
menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak
bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau
bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan
terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan
keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat
domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini
terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan
berdampingan secara damai.
2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk
menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya
kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya
mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap
optimis.
Pertama,
pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN
dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga
telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur
jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan
paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga
bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di
Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme
agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua,
para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan,
baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat
dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para
pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman
keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah
kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik
peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman
(intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan
ajaran agama.
Ketiga,
masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin
teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion)
dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin
agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita
untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar
teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan
dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para
pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan
pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada
sebagai lawan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan dalam makalah ini,
dapat kami simpulkan berbagai macam bahasan mengenai kerukunan antar umat
beragama, yaitu : Kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat
beragama di Indonesia ada beberapa sebab, antara lain;
Ø Rendahnya Sikap Toleransi
Ø Kepentingan Politik dan ;
Ø SikapFanatisme
Adapun solusi untuk menghadapinya,
adalah dengan melakukan Dialog Antar Pemeluk Agama dan menanamkan Sikap
Optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat beragama.
Daftar
pustaka
· Natsir,
Mohamad. Keragaman Hidup Antar Agama (Jakarta: Penerbit Hudaya, 1970), cet. II.
· Al-Baihaqi,
Syu’ab al-Imam (Beirut: t.t), ed. Abu Hajir Muhamad b. Basyuni Zaghlul, VI, h.
105.
· http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/19/toleransi-antaragama-atau-antarumat-beragama/
http://endangiskandar1601.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-toleransi-antar-umat.html
Post a Comment for "Contoh makalah toleransi antar umat beragama"