Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Contoh makalah Murabahah dan Salam

menurut wikipedia Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.



Berikut ini adalah Contoh makalah Murabahah dan Salam


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah dan salam.
B.     Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas pada makalah ini, antara lain:
1.      Apa yang dimaksud dengan Murabahah?
2.      Bagaimana landasan hukum pada Murabahah?
3.      Apa saja rukundan syarat pada Murabahah?
4.      Bagaimanapenyebab terjadinya pengkhianatan dalam murabahah?
5.      Apa yang dimaksud dengan Salam?
6.      Bagaimana landasan hukum pada Salam?
7.      Apa saja rukundan syarat pada Salam?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka salah satu tujuan dari makalah ini antara lain:
1.      Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan pengertian dari Murabahah,
2.      Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan landasan hukum pada Murabahah,

Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan rukun dann syarat pada Murabahah,
4.      Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan penyebab terjadinya pengkhianatan dalam murabahah,
5.      Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan pengertian dari Saalm,
6.      Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan ladasan hukum pada Salam,
7.      Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan rukun dan syarat pada Salam.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Murabahah
1.      Pengertian Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْح) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan), atau murabahah juga berarti Al-Irbaah karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang lainnya. Sedangkan secara istilah, Bai’ul murabahah adalah:
بَيْعٌ بِمِثلِ الثمَنِ الأوَّلِ مَعَ زِيَادَةِ رِبْحٍ مَعلُوْمٍ
Yaitu jual beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan. Definisi ini adalah definisi yang disepakati oleh para ahli fiqh, walaupun ungkapan yang digunakan berbeda-beda.
Dengan kata lain, jual-beli murabahah adalah suatu bentuk jual-beli di mana penjual memberi tahu kepada pembeli tentang harga pokok (modal) barang dan pembeli membelinya berdasarkan harga pokok tersebut kemudianmemberikan keuntungan kepada penjual sesuai dengan kesepakatan.Yang dimaksud dengan keuntungan yang disepakati, yaitu penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Misalnya, si A membeli unta 30 juta, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 juta, maka ketika menawarkan untanya, ia mengatakan: “Saya jual unta ini 50 juta, saya mengambil keuntungan 15 juta”.[1]

2.      Landasan Hukum Murabahah
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:[2]
a.      Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:[3]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah karena merupakan salah satu bentuk dari jual beli dan upaya mencari rezki melalui jual beli.
b.      Hadis
                                      i.      Sabda Rasulullah SAW: “Pendapatan yang paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
                                    ii.      Ketika Rasulullah SAW akan hijrah, Abu Bakar r.a, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar r.a menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah SAWbersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
3.      Rukun dan Syarat Murabahah
Adapun rukun jual beli murabahah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:
a.       Penjual (ba’i)
b.      Pembeli (musytari)
c.       Barang/objek (mabi’)
d.      Harga (tsaman)
e.       Akad (sighat) yaitu Ijab Qabul (serah terima)
Selanjutnya masing-masing rukun diatas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[4]
a.       Pihak yang berakad baik penjual maupun pembeli, harus:
                                      i.      Cakap hukum (dewasa, berakal, dan baligh)
                                    ii.      Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan terpaksa atau berada dibawah tekanan atau ancaman.
b.      Obyek yang diperjualbelikan harus:
                                         i.         Tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang,
                                       ii.         Memberikan manfaat atau sesuatu yang bermanfaat,
                                     iii.         Penyerahan obyek murabahah dari penjual kepada pembeli dapat dilakukan,
                                     iv.         Merupakan hak milik penuh pihak yang berakad, dan
                                       v.         Sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
c.       Sighat
                                         i.         Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad.
                                       ii.         Antara ijab dan qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati.
                                     iii.         Tidak mengandung perjanjian yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi.
Selain itu ada beberapa syarat-syarat sahnya jual beli murabahah adalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui Harga pokok
Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli fiqh menekankan pentingnya syarat ini. Bila harga pokok tidak diketahui oleh pembeli maka akad jual beli menjadi fasid (tidak sah). Harga pokok harus dapat diukur, baik menggunakan takaran, timbangan ataupun hitungan.Jika barang yang akan ditransaksikan tidak diketahui satuannya, maka akan sulit menentukan keuntungan yang diperoleh, sehingga Murabahah-pun tidak terjadi.
b.      Mengetahui Keuntungan
Keuntungan seharusnya juga diketahui karena ia merupakan bagian dari harga.
c.       Jual beli murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.
d.      Kejelasan Barang
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atau kerusakan baran, serta penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara hutang.
4.      Penyebab Terjadinya Pengkhianatan dalam Murabahah
Pengkhianatan  dalam jual-beli murabahah ini bisa terjadi mengenai informasi tentang cara penjual memperoleh barang, yaitu apakah melalui pembelian secara tunaiatau pembelian hutang. Pengkhianatan bisa juga terjadi tentang besarnya harga pembelian.
Apabila pengkhianatan terjadi dalam hal informasi cara memperoleh barang, dimana misalnya penjual menyatakan bahwa ia memperolehnya melalui pembelian tunai padahal melalui pembelian hutang, maka pembeli diberi hak khiyar untuk meneruskan atau membatalkan akad tersebut.
Apabila pengkhianatan terjadi mengenai harga pokok barang di mana penjual menyatakan suatu harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya yang ia bayar, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam mazhab.Menurut Abu Hanifah, pembeli boleh melakukan khiyar untuk meneruskan jual-beli atau membatalkannya karena murabahah merupakan akad jual-beli yang berdasarkan amanah.Menurut Abu Yusuf, pembeli tidak mempunyai hak khiyar, melainkan berhak menurunkan harga ke tingkat harga sesungguhnya yang dibayarkan oleh penjual ketika membeli barang bersangkutan serta penurunan keuntungan yang sebanding dengan penurunan harga pokok barang.
B.     Salam
1.      Pengertian Salam
Kata salam berasal dari kata at-taslîm (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan as-salaf (السَّلَف) yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari.[5] Secara terminologi, yaitu menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barannya diserahkan dikemudian hari[6]
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Dalam jual beli salam ini, resiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati.[7]
2.      Landasan Hukum Salam
Akad bai’ salam  diperbolehkan dalam akad jual beli. Berikut pemakalah paparkan dalil-dalil (landasan syari’ah).[8]
a.       Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah, yaitu:
yang terjemahannya berbunyi :
     “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …”
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
b.      Hadits
“Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi perselisihan.
3.      Rukun dan Syarat Salam
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut:[9]
a.       Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
b.      Muslamilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
c.       Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
d.      Muslanfiih adalah barang yang dijualbelikan.
e.       Shigat adalah ijab dan qabul.
Syarat sahnya akad salam adalah sebagai berikut:[10]
a.       Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
b.      Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, ukuran, kalitasdankuantitanya.
c.       Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur, berapahargabarangnya, berapauangmukanya, danberapa lama, sampaipembayaranterakhir. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual.
d.      Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:[11]
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a.       Ketentuan Pembayaran Uang Kas
1)      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau manfaat;
2)      Dilakukan saat kontrak disepakati (inadvance); dan
3)      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
b.      Ketentuan Barang:
1)      Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
2)      Penyerahan dilakukan kemudianhari;
3)      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan;
4)      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan
5)      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
c.       Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
1)      Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
2)      Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
3)      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak bo­leh meminta pengurangan harga (diskon); dan
4)      Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan kuantitasbarang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tam­bahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
a.       Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
b.      Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

 DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku
Adiwarman, Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi’I,Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ascarya, Akad 90. dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, LPPKSA, 1965
Hasan,M. Ali,BerbagaiMacamTransaksidalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2003.
Huda, Nurul, dan Muhammad Haekal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis,Jakarta: Kencana, 2010.
Rijal Yaya, Aji Erlangga Martawireja dan Ahim Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktek Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat, 2009.
B.     Internet
http://febydwi.blogspot.com/2011/10/akad-salam.html (DiaksespadahariMinggu, 27 April 2014 pukul 23:23 WIB)
http://ryanrahmadi99.blogspot.com/2013/04/makalah-murabahah.html (Diakses pada hari Sabtu, 26 April 2014 pukul 21:09 WIB)


[1] Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 113.
[2]http://ryanrahmadi99.blogspot.com/2013/04/makalah-murabahah.html (Diakses pada hari Sabtu, 26 April 2014 pukul 21:09 WIB)
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, LPPKSA, 1965
[4]http://ryanrahmadi99.blogspot.com/2013/04/makalah-murabahah.html (Diakses pada hari Sabtu, 26 April 2014 pukul 22:09 WIB)
[5] Rijal Yaya, Aji Erlangga Martawireja dan Ahim Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktek Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat, 2009, hal.233.
[6]M. Ali Hasan, BerbagaiMacamTransaksidalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2003, hal. 143.
[7] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 90.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hal. 108.
[9] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,…hal, 91.
[10]http://febydwi.blogspot.com/2011/10/akad-salam.html (DiaksespadahariMinggu, 27 April 2014 pukul 23:23 WIB)
[11] Nurul Huda dan Muhammad Haekal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 50.
http://coretan-sekarimah.blogspot.co.id/2014/05/makalah-murabahah-dan-salam_29.html
 

Post a Comment for "Contoh makalah Murabahah dan Salam"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel